Politik    Sosial    Budaya    Ekonomi    Wisata    Hiburan    Sepakbola    Kuliner    Film   
Home » , » Sebaiknya Hukum Pidana Dijadikan Senjata Terakhir (Ultimum Remedium)

Sebaiknya Hukum Pidana Dijadikan Senjata Terakhir (Ultimum Remedium)

Posted by fimny on Kamis, 23 April 2015

Hukum itu untuk manusaia, bukan manusia untuk hukum, hukum harus  di terapkan dengan akal dan hatinurani, hukum yg baik adalah hukum yg memberikan akses kepastian,kemamfaatan dan keadilan bagi umat manusia secara kaffah. (Prof. Sadjipto Raharjo, Prof. Jeremy Bentham).

Sebuah Pengantar
Dalam kehidupan manusia tidak terlepas dari masalah-masalah hukum. Tanpa disadari atau tidak penyelesainnya lebih banyak di selesaikan oleh instansi pengadilan. Dalam gejolak era reformasi banyak kasus-kasus di majalah, koran, radio, televisei yang mencuak dihadapan publik, sampai saat ini banyak kasus yang kontroversial. Terutama dalam menghadapi masalah-masalah hukum di perlukan, teknik dan strategi serta pemahman yang baik sehingga kita mampu membedakan hukum mana yang memiliki kewenangan untuk menyelesaikan, serta pengadilan mana memutuskanya.

Namun perlu di simak, berbagai kasus pidana yang mencuak di masyarakat misalkan: pencurian yang ringan, penghinaan, kecelakaan serta masalah-masalah lain yang seharusnya di selesaikan dengan capa adat-adat setempat terdahulu sebelum di bawa kepengadilan, tetapi dalam kenyataannya kasus-kasus tersebut lebih banyak diselesaikan oleh pengadilan, padahal   belum tentu pengadilan itu memberikan akses keadilan. Dengan demikian, perlu disadari oleh masyarakat, bahwa hukum pidana atau pengadilan pidan adalah upaya terakhir (ultimum remedium).

Menjadi pertanyaan untuk masyarakat Indonesia apakah orang miskin harus di pidana? Masih terbayang di  ingatan kita, kasus nenek Minah dengan beberapa butir kakao, kasus pencuri kaus bekas di pagar rumah kosong yang beberapa waktu ramai diberitakan media, dan masih banyak lagi kasus-kasus lainnya. Sepertinya keliru kalau penegak hukum semacam polisi, jaksa, dan hakim menangani masalah kecil seperti itu kemudian menggunakan senjata raksasa yaitu KUHP dan KUHAP untuk menjobloskan orang dalam penjara. Kemudian hal yang aneh lagi adalah munculnya “Peradilan Sesat” yaitu kasus kecelakaan lalulintas Lanjar Sriyanto pada Tanggal 21 September Tahun 2009 ia disidang di pengadilan Negeri Karanganyar dengan dakwaan Pasal 359 dan 360 KUHP, padahal saudara Lanjar Sriyanto tidak tahu menau kesalahannya apa sehingga tiba-tiba saja ia di bawa kepengadilan dengan tuntutan jaksa diluar logika hukum.

Bahwa menurut Guru Besar Sosiologi Hukum Uneversitas Diponegoro, Profesor Sadjipto Rahardjo (Alm), menyatakan: “hukum bukan teks semata, tetapi alam pikiran dan hati nurani manusia menjalankan, seorang hakim dapat berbeda pendapat dengan polisi dan jaksa, dalam mengambil keputusan, berhukum itu tak hanya bermain teks tetapi alam pikiran dan nurani yang di kedepankan”.

Kalau kita memahami dengan baik, bahwa hukum itu bukan teks semata, akan tetapi alam pikiran dan nurani yang diutamakan serta nilai-nilai yang tumbuh kembang dalam masyarakat itu sendiri, kalau di kerucutkan dalam kasus-kasus yang ringan diatas namun penulis tidak sepakat kalau kasus itu di bawa ke instansi pengadilan dan apalagi hukum pidana yang di gunakan untuk menyelesaikannya, namun saya lebih sepakat kasus-kasus tersebut di selesaikan dengan penyelesaian di luar jalur pengadilan/persidangan (non litigation). Oleh sebab itu hukum pidana sebaiknya digunakan dengan kasus-kasus yang wajar dan memang sesuai dengan kapasitas serta potensi pelaku tindak pidana, misalkan: kasus korupsi, perampokan, pembunuhan, pemerkosaan, teroris, pencucian uang (money laundry), serta narkotika, kalau kasus-kasus yang demikian ini wajar kita gunakan hukum pidana dan pelaku tindak pidana tersebut di hukum seberat-beratnya.

Hukum pidana kalau kita dalami sebenarnya sangat menghargai konsep hak asasi manusia sebab kenapa saya katakan seperti itu, karna hukum pidana tidak seharusnya digunakan dengan kasus yang ringan karna hukum pidana ibaratkan pisau yang bermata dua. Apalagi di “lembaga kepolisian, kejaksaan, kehakiman” sering salah tangkap dalam melakukan penuntutan, dan memutuskan. Namun polisi sebagai penyidik, jaksa selaku penuntut umum, ketika melakukan penuntutan tidak melihat, mencermati secara jelas, dan secara tepat apakah kasus tersebut pantas di tuntut dengan seberat-beratnya? Sehingga konsep keadilan dikesampingkan/di nomor duakan. Bahwa ketika ada indikasi tindak pidana lembaga kepolisian seharusnya berperan aktif sebagaimana mestinya, sebab proses kelanjutan tindak pidana itu tergantung kinerja polisi selaku pelayan, pelindung, dan pengayom masyrakat sehingga ketika berkas perkara di limpahkan kepada kejaksaan tidak amburadul karna sesungguhnya kejaksaan juga tergantung dari pihak lembaga kepolisian sebagai penyidik sehingga jaksa dalam menyusun dakwaan tidak kabur walaupun  harus kita  mengamini bahwa tanggugjawab polisi dan jaksa sangat besar, akan tetapi perlu di pahami hukum pidana jangan sampai disalahgunakan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab.

Bangsa Indonesia menginginkan orang-orang yang konsisten menegakkan keadilan dan kebenaran, itu pula sudah jelas sesuai tercantum dalam Pancasila serta Undang-Undang Dasar Tahun 1945, namun sampai hari ini bangsa Indonesia masih carut-marut memikirkan instansi penegak hukum yang tidak jelas arah, terutama dan paling utama lembaga kehakiman, kejaksaan, kepolisian yang selama ini paling di junjung tinggi dan di agungkan masyarakat, tetapi hari ini tidak ubah seperti singa yang berbulu domba. Bicara hakim, hukum, dan tindak pidana serta narapidana tidak lain kita kembali kekonsep hak asasi manusia bahwa tersangka, terpidana, dan narapidana apakah mereka-mereka ini dalam hukum pidana tidak ada pengecualian dalam melakukan pertanggungjawaban hukum semisalkan melakukan atau sama sekali tidak melakukan tetapi perbuatan itu sangat kecil atau  ringan? Logika hukum serta argumentasi hukum yang saya pahami dalam kosep hukum pidana pasti ada pengecualian dalam  pertanggungjawaban pidana, sebab tidak mungkin hukum pidana itu menghukum orang gila, anak kecil yang umur 10 atau dibawah sepuluh tahun dan orang sudah lanjut usia semisalkan dia melakukan perbuatan pidana yang  di larang oleh negara, namun itu tidak logis sangat menodai kepastian, rasa keadilan dan persamaan dihadapan hukum.

Pidana, Pemidanaan dan Narapidana
Penggunaan istilah pidana itu sendiri di artikan sebagai sanksi pidana. Untuk pengertian yang sama, sering juga di gunakan istilah-istilah yang lain, yaitu hukuman, penghukuman, pemidanaan, penjatuhan hukuman, pemberian pidana, dan  hukuman  pidana. Menurut  saya, istilah-istilah di atas terlalu spesifikasi karena kata pidana kalau kita maknakan sebenarnya sangat luas. Jadi kata-kata seperti di atas itu lebih cocoknya digunakan ketika seseorang yang melakukan perbuatan pidana atau adanya kepetusan dari pengadilan yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap, oleh karena itu dari kata-kata diatas kalau kita samakan dengan perbuatan pidana akan memiliki makna yang rancu. Namun senada juga apa yang ditafsirkan oleh Guru Bersar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada, Profesor Moeljatno, beliau ini memberikan pengertian bahwa pidana adalah menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan atau yang dilarang, menentukan kapan dan dalam hal apa supaya orang tersebut bisa di pidana, dan menentukan dengan cara bagaimana prosesnya orang disangka tersebut.

Artinya apa, kata pidana menunjukan pada proses mulai sejak pada saat orang itu melakukan perbuatan dan melahirkan kegoncangan di dalam masyrakat, penyidikan, maupun pada tingkat penuntutan sedangkan kata penghukuman itu lebih cocok digunakan ketika pengadilan memberikan eksekusi kepada pelanggar tersebut.

Pemidanaan, seperti apa yang kehendak saya katakan di atas bahwasanya pemidanaan konsepsinya terarah pada tujuan pemidanaan atau sistem penjatuhan pidana yang memang diputuskan oleh seorang hakim, jadi dalam penjatuhan pidana atau pemidanaan hanya hakim  memiliki kewenangan untuk mengadili, memutuskan apa yang di sangkakan kepada  seorang terdakwa tersebut.

Konsepsi pemidanaan yang digunakan saya adalah apa yang lazim dikenal atau dipahami oleh masyarakat bahwasnnya ketika hakim menjatuhkan pidana kepada si terdakwa harus memperhatikan nilai-nilai kearifan lokal masyarakat setempat supaya nilai-nilai tersebut tidak diabaikan karena memang hakim itu bukan corong undang-undang dan wajib menggali atau menemukan hukum supaya dalam keputusannya hendak memberikan kepastian, kebahagiaan, dan rasa kedilan secara kaffah.

Dalam hukum pidana maupun hukum acara pidana kita akan berbicara pemidanaan yang dimana akan mengarah pada tujuan pemidaan, walau pun pada kenyataannya pelaku-pelaku tindak pidana itu belum insaf seperti apa yang di inginkan oleh masyarakat, bangsa, dan negara sebagaimana yang semestinya tercantum dalam pembangunan nasional dalam bidang hukum dan hak asasi manusia. Tujuan diciptakan, tujuan pemidanaan adalah untuk bagaimana pelaku-pelaku, atau masyarakat luas tersebut supaya takut, agar sadar bahwa sesungguhnya perbuatan itu dilarang oleh negara, memberikan pendidikan bagi pelaku atau masyarakat luas baik secara jasmani maupun secara rohani, dan memberikan keadilan bagi si pelaku sesuai apa yang ia perbuat dengan cara memberikan hukuman.

Narapidana merupakan mantan pelaku tindak pidana yang dimana pelaku tersebut sebelumnya di masukan di penjara karna terbukti melakukan perbuatan yang menggoncangkan masyarakat. Konsepsi narapidana yang saya maksud disini adalah dilihat dari pandangan masyarakat yang artinya apakah narapidana ketika keluar dari penjara bagaimanasih posisnya? Jadi kalau kita lihat dalam kenyataan, narapidana ini tidak mendapatkan posisi yang layak karena masyarakat memandang bahwa orang seperti ini tidak perlu hidup dihadapan kita, orang seperti ini lebih baik tinggal di hutan saja. Jadi untuk persoalan ini perlu kemudian pemerintah harus memperhatikan nasib dari pada korban tindak pidana tersebut karna memang secara kemanusiaan para narapidana memiliki hak untuk hidup seperti individu-individu yang lainnya. Negara Indonesia adalah negara hukum yang menjunjung tinggi persamaan dan melarang tindakan diskriminasi yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu dan secara yuridis sudah tercantum dalam Pancasila, serta UUD 1945 sebagai acuan warga Negara Indonesia maupun negara-negara asing.


Penulis: Abidin
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Janabadra Yogyakarta.


NB:
Tulisan ini pernah diterbitkan pada Majalah Tauhid Edisi Perdana/April 2015

SHARE :
CB Blogger

Posting Komentar

 
Copyright © 2008 fimny. All Rights Reserved. Powered by Blogger
Template by www.phylopop.com