Politik    Sosial    Budaya    Ekonomi    Wisata    Hiburan    Sepakbola    Kuliner    Film   
Home » , » Identitas dan Budaya Islam di Bima

Identitas dan Budaya Islam di Bima

Posted by fimny on Senin, 23 Februari 2015

FIMNY.org – Makna Identitas adalah sebagai perwujudan tanda tanda, ciri-ciri atau jati diri yang melekat pada diri seorang atau kelompok sehingga membedakan dengan yang lain. Jadi identitas budaya Islam dapat di artikan sebagai suatu karakter khusus yang melekat dalam suatu kebudayaan yang islami sehingga bisa dibedakan antara satu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain. Begitupun dengan keberadaan budaya  Islam di Bima, dimana di dana Mbojo/Mbari memiliki identitas, ciri serta keunikan kebiasaan tersendiri dibandingkan dengan sejarah serta kebiasaan di daerah dan kota-kota lainnya.

Melirik sejarah masuknya kerajaan Islam di dana Mbojo/Mbari, menurut versi Bo Sangaji Kai, La Kai (putra mahkota kerajaan Bima) ditemani La Mbilla berangkat menemui Sultan Alauddin di Gowa, Makassar agar mengirimkan pasukan perangnya untuk merebut kembali tahta kerajaannya yang sedang dikuasai oleh Raja Salise (sekutu Belanda). Sultan Gowa waktu itu menyanggupi dengan syarat La Kai dan La Mbilla masuk Islam dan membantu penyebaran agama Islam di tanah Bima (Dana Mbojo).

Syarat itu dipenuhi oleh La Kai dengan memeluk Islam pada tahun 1609 dan menikah dengan adik ipar Sultan Alauddin. Setelah itu, berangkatlah La Kai atau Abdul Kahir dan La Mbilla atau Jalaluddin, dengan dua muballigh Melayu yaitu Datuk ri Bandang dan Datuk ri Tiro beserta bala tentara Kesultanan Gowa ke Bima dan berhasil mengalahkan Raja Salise berserta pengikutnya. Setelah La Kai kembali naik tahta, La Kai atau Abdul Kahir menjadi Sultan pertama Kesultanan Bima dan menjadikan Islam sebagai agama resmi kerajaan pada 5 Juli 1640 M (atau 18 Rabiul Awal 1050). Tanggal 18 Rabiul Awal menjadi hari pelaksanaan perayaan Hanta U'a Pua (perayaan sejarah masuknya Islam dan Maulid Nabi di Bima). 18 Rabiul Awal yang waktu itu bertepatan dengan tanggal 5 Juli menurut tahun Masehi kemudian menjadi Hari Jadi Bima yang setiap tahun diperingati oleh segenap rakyat Bima

Orang Bima punya watak religius yang khas. Sejarawan Belanda Dr. Peter Carey (1986) memuji daerah ini sebagai kesultanan di Indonesia Timur yang tersohor karena ketaatannya pada Agama Islam. Pujian itu tidak berlebihan. Banyak ulama terkemuka dari Bima. Di kalangan Ashhab Al-Jawiyyin atau saudara kita orang Jawi – demikian sumber arab – di Mekkah sekitar abad ke-18, Syekh Abdulgani Bima telah menjadi guru besar di madrasah Haramayn. Salah satu muridnya adalah KH. Hasyim Asy’ary, pendiri Nahdlatul Ulama (NU). Islam demikian melekat, antara lain karena peranan kesultanan yang begitu kuat, yang menjadikan Islam sebagai agama raja dan kerajaan. Seluruh elemen kekuasaan didayagunakan untuk kepentingan Islam.

Raja misalnya menetapkan aturan untuk membangun Masjid Jami di tiap kecamatan. Dananya dari hasil menggarap tanah negara baik itu Dana Pajakai dan Dana Ngaji. Sultan juga menunjuk pemimpin agama di tiap kecamatan yakni Lebe Na’e. Yang mengesankan, seperti cara Sultan Muhammad Salahuddin. Beliau bukan sekedar membangun rumah ibadah tetapi meningkatkan fungsi masjid, mushalla, langgar dan surau menjadi tampat pengajian Al-Qur’an bagi anak-anak dan tempat pengkajian ilmu agama bagi orang dewasa. Walhasil mesjid menjadi pusat segala aktivitas sosial. Menyadari pentingnya pendidikan, sultan bahkan mengirim para pelajar terbaik untuk menuntut ilmu ke luar negeri seperti Mekkah dan negara Arab lain. Mereka diberi beasiswa dengan syarat harus kembali mengabdi untuk Bima setelah sukses menuntut ilmu. Kepada para pejabat, sultan menekankan untuk berperilaku Islami. Beliau mengharuskan para pejabat memiliki sifat-sifat utama seperti taqwallah (taqwa kepada Allah), sidiq (berkata benar), amanah (jujur), tablig (menyampaikan amanat) serta pintar. Faktor lain yang membuat Islam bisa menjadi ideologi terkemuka di daerah ini adalah coraknya yang sufistik. Islam dengan corak ini begitu memikat karena sangat menekankan kepada ilmu kesempurnaan hidup. Orang Bima menyebutnya Ngaji Tua. Penekanannya adalah pada jiwa dan qalbu (tarikat, Hakikat dan makhrifat) dan tentu saja syariat. Para sufi kelana seperti Datu Di Bandang dan Di Tiro di abad ke-17 amat berjasa menancapkan Islam sufistik di Bima. Para sufi ini jualah yang mengislamkan Gowa-Makasar dan kerajaan-kerajaan di Sulawesi. Tak mengherankan kalau kemudian orang Bima menyukai Sulawesi untuk menimba ilmu agama sembari berdagang. Ada rantai spiritual Bima dengan Sulawesi karena praktek Tarekat Saman atau Khalwatiyah sangat dominan di sana. Itulah tarekat yang digandrungi banyak orang Bima dan mendasari Ngaji Tua atau Ilmu Bathin. Para penuntut ilmu serta mukimin asal Bima di Mekkah juga ikut mendorong tumbuhnya Islam Sufistik ini. Sepulang dari Mekkah, mereka menjadi guru-guru yang sangat dikagumi bahkan diyakini memiliki karomah. Salah satu syekh yang punya kesalehan mistis dan sangat legendaris di kalangan masyarakat Bima dan Dompu adalah Syekh Mahdali atau Sehe Boe. Seperti kelas-kelas Islam di Jawa, di Bima pun ada kaum abangan dan priyayi, disamping kaum santri.

Beberapa konsep hukum adat tentang penetapan kembali hukum Islam di Bima, diantaranya: Pertama, Orang dalam negeri (sesama rakyat) tidak boleh sekali-sekali diperhambakan meskipun lebih daripada harga dirinya sekalipun melainkan tersangkut urusan utang. Kedua, Raja-raja dan orang besar diperintahkan bersedekah pada bulan maulid. Ketiga, Jika ada pencuri maka kalau harta yang dicuri sebanyak 10 real, maka didenda 16 real. Namun, jika kurang dari 10 real maka 1 real didenda menjadi 2 real, seekor menjadi dua ekor, namun bila yang dicurinya hilang maka harus digantikannya. Keempat, Jika ada kesusahan dalam negeri maka hendaklah seluruh jeneli, tureli dan gelarang bermufakat mencari penyelesaiannya. Kelima, Jika membuat tunggul, bendera atau payung  maka hendaklah dibuat sesaji dan dipercikkan air serta dibacakan do,a kepada Allah dan Nabi Muhammad. Keenam, Jika ada anak raja-raja atau hamba atau jena-jena memaki aniya hamba orang lain atau rakyat lain maka dendanya 40 real. Denda juga diberikan pada saksi yang melihat.

Namun untuk menerapkan hukum adat tersebut maka dibentuklah beberapan penggawal untuk menjaga keamanan. Diantaranya: Pertama, Tureli/bupati: belo, bolo, woha, sakuru, parado dan tureli donggo. Kedua, Jeneli/camat terdiri dari 3-6 orang, namun pada abad  19  bertambah jadi 11 orang. Ketiga, Bumi, anggotanya terdiri dari 10 orang yang bergelar bumi rasa na’e dan bertugas untuk membantu tureli dan jeneli. Keempat, Gelarang atau kepala desa yang dilantik oleh Raja Bicara, Gelarang Belo, Bolo dan Sape.

Adat/tradisi sebagai perwujudan Identitas keislaman di Bima, diantaranya: Pertama, adat Hanta U’a Pua. Jadilah prosesi adat Hanta U’a Pua sebuah perpaduan seni dengan prosesi ritual yang mensimbolkan tentang janji yang harus selalu diingat oleh Sultan. Janji dan peringatan ini disimbolisasikan dengan 99 buah bunga telur (bunga dolu) yang melambangkan asmaul husnah. Bunga dolu inilah yang menjadi sirih puan, setelah pada malam harinya diadakan dzikir roko. Keesok harinya, sirih puan diusung menggunakan uma lige. Juga didalamnya terdapat tarian, yaitu tarian lenggo Mbojo dan tarian lenggo melayu. Tari-tarian inilah yang menjadi sebuah kesenian yang sakral pada saat itu. Sakral karena tariang lenggo mbojo dan melayu ini hanya dipertunjukan pada saat-saat tertentu saja, seperti pada perayaan-perayaan Islam.

Kedua, Rimpu. Rimpu menjadi cerminan masyarakat Bima yang menjunjung tinggi nilai keislaman, selain itu juga buat melindungi diri ketika beraktivitas di luar rumah. Rimpu, ada 2 model. Ada Rimpu Mpida. Rimpu Mpida teruntuk khusus buat gadis Bima atau yang belum berkeluarga. Model ini juga sering disebut cadar ala Bima. Dalam kebudayaan masyarakat Bima, wanita yang belum menikah tidak boleh memperlihatkan wajahnya, tapi bukan berarti gerak-geraknya dibatasi. Selain rimpu Mpida, ada juga Rimpu Colo. Rimpu Colo ini teruntuk ibu-ibu atau wanita yang sudah menikah. Mukanya sudah boleh kelihatan. Di pasar-pasar tradisional, masih bisa ditemukan ibu-ibu yang memakai rimpu dengan sarung khas dari Bima (Tembe Nggoli).

Selain adat Hanta U’a Pua dan Rimpu, Adat/tradisi sebagai perwujudan Identitas keislaman di Bima ada juga Arubana, Hadorah, Dzikir Kapanca, Arubana, Toho Ro Tore, Syukuran Hasil Panen, Kapatu Mbojo, dan lain-lain.

Menelusuri sejarah serta keunikan budaya Islam di dana mbojo dari berbagai macam versi dan karya yang telah ada, penulis menemukan titik kemiripan atau kesamaan atas sejarah masuknya Islam dan budaya Islam di Bima, bahwa kesultanan Islam di Mbojo pada awal mulanya masuk melalui pengaruh kesepakatan politik dari kerajaan gowa-makasar dalam membangun hubungan perhabatan serta menyebarkan agama Islam ke seluruh rakyat Mbojo.

Namun di era modernisasi ini, para generasi penerus dalam mempelajari sejarah masuknya Islam serta budaya Islam di bima mengalami kemunduran yang sangat signifikan, hal itu bisa kita lihat dari realitas yang  ada, misalnya: sistem pendidikan yang ada di kabupaten Bima tidak mewajibkan adanya mata pelajaran sejarah kerajaan di Bima, sehingga generasi sekarang banyak yang tidak tau atau bahkan sudah melupakan sejarah serta identitas keislam di dana Mbojo/Mbari.

Referensi
Ahmad Amin, 1971, Pemerintah Bima: Sejarah Pemerintah Bima dan Serba Serbi Budaya Bima, Jilid  1, Bima: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan.
Siti Maryam R Salahudin, 2004, Hukum Adat Undang-Undang Bandar Bima, Mataram: Lengge.
http://sosbud.kompasiana.com.


Penulis: Ismail Aljihadi
Senior Forum Intelektual Muda Ncera Yogyakarta (FIMNY)

SHARE :
CB Blogger

Posting Komentar

 
Copyright © 2008 fimny. All Rights Reserved. Powered by Blogger
Template by www.phylopop.com