Politik    Sosial    Budaya    Ekonomi    Wisata    Hiburan    Sepakbola    Kuliner    Film   
Home » , , » Asuransi Kesehatan Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (BPJS) Dalam Perspektif Hukum Kontrak (Law Agreement)

Asuransi Kesehatan Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (BPJS) Dalam Perspektif Hukum Kontrak (Law Agreement)

Posted by fimny on Jumat, 19 Desember 2014

Hasrul Buamona,SH.,M.H.
Kebutuhan perbaikan atas kesehatan merupakan hal mendasar yang dibutuhkan bagi setiap orang yang ingin mendapatkan pelayanan kesehatan baik promoif, kuratif, preventif dan rehabilitasi.  Dalam Pasal 28 H UUD 1945 mengatur bahwa “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,bertempat tinggal,dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik, dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Pasal tersebut menunjukan bahwa negara memiliki tanggung jawab untuk menyediakan pelayanan kesehatan paripurna tidak hanya dalam bentuk fisik, namun juga jaminan atas pelayanan kesehatan masyarakat  (asas welfare state) melalui alat kelengkapan negara atau badan usaha milik negara.

Lahirnya BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) sebagai badan usaha milik negara pada 1 Januari 2014 sehingga secara hukumpun menghilangkan jaminan asuransi kesehatan terdahulu seperti halnya PT ASKES, sehingga memberi harapan baru bagi masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan  yang lebih baik.  Perlu diketahui dalam UU No 24 Tahun 2011 mengatur bahwa BPJS tidak bisa dipailitkan dan BPJS sendiri merupakan sistem asuransi sosial kepada masyarakat. Namun dalam kesempatan ini penulis akan mengkaji BPJS sebagai asuransi dalam Hukum Perikatan perdata, karena dalam perjalanannya BPJS sendiri tidak bisa jauh dari permasalahan hukum khusus tertanggung yang dalam hal ini adalah pasien serta BPJS sebagai penanggung asuransi.

Menurut Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor  2 Tahun 1992 Tentang Asuransi mengatur “Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara 2 (dua) pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung karena kerugian kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dan suatu peristiwa tidak pasti atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan”.

Tertanggung adalah seseorang yang membayarkan sejumlah uang kepada perusahaan asuransi dan mengikatkan dirinya sendiri dengan hubungan hukum tertentu yang diatur di dalam kontrak. Sedangkan, penanggung adalah pihak yang berkewajiban menanggung risiko yang ditransferkan kepadanya dan mereka berhak untuk mengklaim pembayaran premi kepada tertanggung. Penanggung harus merupakan badan hukum, bisa dalam bentuk perusahaan, perseroan terbatas, dan lain sebagainya. (Abdulkadir Muhammad: 1999)

Hubungan asuransi yang terjadi antara penanggung dan tertanggung adalah mengikat secara sah yang didasarkan pada perjanjian. Hubungan tersebut didasarkan kesukarelaan dari kedua belah pihak yakni penanggung dan tertanggung untuk memenuhi hak dan kewajiban masing-masing terhadap satu dengan yang lain secara timbal balik, yang berarti sejak perjanjian asuransi mencapai persetujuan dari kedua belah pihak, tertanggung terikat dan tertanggung berkewajiban untuk membayar premi asuransi kepada penanggung. Maka dari itu, penanggung menerima transfer risiko (transfer of risk). Apabila risiko yang tidak pasti (evenement) di kemudian hari terjadi dan menyebabkan kerugian objek asuransi, penanggung berkewajiban untuk membayar sebesar kerugian yang dialami sesuai dengan ketentuan yang tertera di dalam polis asuransi. Meskipun demikian, apabila evenement tidak terjadi, maka premi yang telah dibayarkan menjadi hak milik penanggung(Abdulkadir Muhammad:1999).

Kontrak/Perjanjian asuransi termasuk kedalam jenis Perjanjian Bersyarat yang diatur dalam Pasal 1253-1271 KUHPerdata. Perjanjian Bersyarat adalah sebuah perjanjian yang didasarkan suatu hal di masa depan yang belum pasti terjadi. Terdapat dua unsur  dalam perjanjian bersyarat, yaitu sebagai berikut: Pertama, Sebuah perjanjian yang bergantung pada (afhangen) peristiwa atau kejadian di masa depan (toekomstig). Kedua, Kejadian atau peristiwa tersebut belum pasti terjadi (onzekere gebeurtenis). ( Yahya Harahap:1986)

Namun demikian, perjanjian asuransi jiwa hanya memiliki unsur pertama, yaitu sebuah perjanjian yang bergantung pada peristiwa atau kejadian di masa depan. Terkait dengan kondisi tertanggung (pasien) tersebut sakit dan bahkan mengalami dimana bagian dari hal yang pasti terjadi, hanya waktu sakit dan bahkan kematiannya saja yang tidak dapat diprediksi. Maka dari itu, perjanjian asuransi kesehatan adalah perjanjian ketetapan waktu (punctuality agreement /met tijdsbepaaling), bukan perjanjian bersyarat (conditional agreement).

Karena hubungan asuransi adalah hubungan perjanjian, agar hubungan perjanjian tersebut mengikat dan sah secara hukum, maka sudah seharusnya memenuhi syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata yaitu : 1) Adanya kesepakatan kedua belah pihak; 2) Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum; 3) Adanya objek; 4) Adanya kausa yang halal.

Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor  2 Tahun 1992, asuransi diatur dalam Ordonantie op het Levensverzekering Bedrijf (Staatsblad Nomor 101 Tahun 1941).  Ada beberapa jenis masalah yang kerap muncul dalam perjanjian, hal tersebut dijelaskan dalam Pasal 1321 KUHPerdata: “Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekeliruan, atau diperolehnya dengan paksaan, atau penipuan”. Dalam praktik asuransi, tertanggung (pasien) berkewajiban untuk memberitahu yang sejujurnya kepada Perusahaan Asuransi dalam hal ini ialah sebagai penanggung, tentang kondisi dirinya begitu juga barang-barang maupun harta kekayaan yang akan diasuransikannya atau kondisi jiwa seseorang yang ingin diasuransikan olehnya. Ketentuan lain diluar KUHPerdata yang mengatur perjanjian asuransi adalah KUHD (kitab Undang-Undang Hukum Dagang). Menurut Pasal 246 KUHD  yang diperlukan dalam perjanjian asuransi adalah sebagai berikut: Pertama, Perjanjian asuransi dibuat secara tertulis dalam bentuk akta atau disebut juga dengan polis (Pasal 255 KUHD); Kedua, Perjanjian asuransi belum dianggap sah jika premi yang menjadi kewajiban tertanggung belum dibayar oleh tertanggung atau pihak yang menanggungkan (Pasal 257 KUHD); Ketiga, Perjanjian asuransi hanya mengikat pada dua pihak saja, yaitu tertanggung dan penanggung, kecuali secara formal pihak ketiga tertulis dalam polis sebagai pihak yang diberi hak untuk menerima penggantian kerugian.

Sebagaimana telah diuraikan di atas, dalam setiap perjanjian terkandung hak dan kewajiban para pihak. Begitu pula dalam perjanjian asuransi kesehatan antara tertanggung dengan penanggung terdapat hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh para pihak. Tidak dilaksanakannya kewajiban oleh salah satu pihak akan berakibat pada pelaksanaan perjanjian asuransi yang telah dibuat. Suparman Sastrawidjaja (1997) dalam bukunya yang berjudul “Aspek-Aspek Hukum Asuransi dan Surat Berharga” membagi Hak dan kewajiban tersebut antara lain adalah: Pertama, Hak dan Kewajiban Tertanggung; Kedua, Hak dan Kewajiban Penanggung.

Hak dan Kewajiban Tertanggung
Hak dan Kewajiban Tertanggung, terdiri dari Hak Tertanggung dan Kewajiban Tertanggung. Hak Tertanggung diantaranya, Pertama, Menuntut agar polis ditandatangani oleh penanggung (Pasal 259 KUHD); Kedua, Menuntut agar polis segera diserahkan oleh penanggung (Pasal 260 KUHD); Ketiga, Meminta ganti kerugian kepada penanggung karena pihak yang disebut terakhir lalai menandatangani dan menyerahkan polis, sehingga menimbulkan kerugian kepada penanggung; Keempat, Menuntut pengembalian premi, baik seluruhnya maupun sebagian, apabila perjanjian asuransi batal atau gugur, dengan catatan tertanggung bertitikad baik, sedangkan penanggung belum menanggung risiko (Pasal 281 KUHD); Kelima, Menuntut ganti kerugian apabila peristiwa yang diperjanjikan dalam polis terjadi.

Sedangkan Kewajiban Tertanggung diantaranya, Pertama, Membayar premi kepada penanggung (Pasal 246 KUHD); Kedua, Memberikan keterangan yang benar kepada penanggung, mengenai objek yang diasuransikan (Pasal 251 KUHD); Ketiga, Mengusahakan atau mencegah, agar peristiwa yang dapat menimbulkan kerugian terhadap objek yang diasuransikan tidak terjadi atau dapat dihindari (Pasal 283 KUHD); Keempat, Memberitahukan kepada penanggung bahwa telah terjadi peristiwa yang menimpa objek yang diasuransikan, berikut usaha pencegahannya.

Hak dan Kewajiban Penanggung
Hak dan Kewajiban Penanggung terdiri dari Hak Penanggung dan Kewajiban Penanggung. Hak Penanggung diantaranya, Pertama, Menuntut pembayaran premi kepada tertanggung sesuai perjanjian; Kedua, Meminta keterangan yang benar dan lengkap kepada tertanggung yang berkaitan dengan objek yang diasuransikan kepadanya; Ketiga, Memiliki premi dan bahkan menuntutnya dalam hal peristiwa yang diperjanjikan terjadi, tetapi disebabkan oleh kesalahan tertanggung sendiri (Pasal 276 KUHD); Keempat, Memiliki premi yang sudah diterima dalam hal asuransi batal atau gugur, yang disebabkan oleh perbuatan curang dari tertanggung (Pasal 282 KUHD); Kelima, Melakukan asuransi kembali (reinsurance / herveszekering), kepada penanggung yang lain, dengan maksud untuk membagi risiko yang dihadapinya (Pasal 271 KUHD).

Sedangkan Kewajiban Penanggung diantaranya, Pertama, Memberikan ganti kerugian atau memberikan sejumlah uang kepada tertanggung apabila peristiwa yang diperjanjikan terjadi, kecuali jika terdapat hal yang dapat menjadi alasan untuk membebaskan dari kewajiban; Kedua, Menandatangani dan menyerahkan polis kepada tertanggung (Pasal 259, 260 KUHD); Ketiga, Mengembalikan premi kepada tertanggung jika asuransi batal atau gugur, dengan syarat tertanggung belum menanggung risiko sebagian atau seluruhnya (Pasal 281 KUHD); Keempat, Agar perjanjian asuransi kesehatan berjalan dengan baik, maka masing-masing pihak dituntut untuk melakukan perjanjian berdasarkan prinsip itikad baik (utmost good faith) yang merupakan prinsip penting dalam perjanjian pada umumnya sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata.

Pada prinsip utmost good faith tertanggung pada saat melakukan mengajukan form aplikasi penutupan asuransi berkewajiban memberitahukan secara jelas dan teliti mengenai segala fakta penting yang berkaitan dengan dirinya atau objek yang diasuransikan serta tidak berusaha dengan sengaja untuk mengambil untung dari penanggung. Dengan kata lain tertanggung tidak menyembunyikan sesuatu yang dapat dikategorikan sebagai cacat tersembunyi atau menutupi kelemahan dan kekurangan atas diri atau objek yang dipertanggungkan, mengingat hal ini berkaitan erat dengan risiko, penetapan pembayaran premi serta kewajiban penanggung jika terjadi kerugian yang diderita oleh tertanggung. Prinsip ini jika dicermati juga sesuai dengan implementasi Pasal 1320 dan Pasal 1338 KUHPerdata, bahwa perjanjian yang dibuat harus berdasarkan atas dasar sebab yang halal serta persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik (Swady Halim:2000).

Apabila terjadi klaim karena meninggalnya tertanggung,maka bagian pertanggungan pihak asuransi akan melakukan klarifikasi dan investigasi terhadap penyebab kematian baik terhadap ahli waris tertanggung maupun terhadap pihak-pihak terkait seperti dokter, mengenai sebab kematian tertanggung, termasuk mengenai riwayat kesehatan tertanggung. Klarifikasi dan investigasi diperlukan untuk memastikan kebenaran klaim, dan pembayaran faedah uang asuransi. Di samping itu untuk mengetahui ada atau tidak unsur pelanggaran utmost good faith dalam klaim asuransi. Pada dasarnya penyelesaian sengketa yang terjadi akibat adanya klaim asuransi yang dikemudian hari diketahui terdapat cacat tersembunyi harus mengacu pada ketentuan Undang-Undang No 2 Tahun 1992 Tentang Asuransi, KUHPerdata, dan KUHD. Apabila dalam hubungan hukum tersebut ada hak dan kewajiban baik dari pihak tertanggung dan penanggung tidak dijalankan, khususnya penanggung dalam hal ini Asuransi yang dilaksanankan BPJS, maka tertanggung dapat menggunakan haknya untuk mengajukan tuntutan hukum, baik yang diatur dalam KUHP ataupun KUHPerdata sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata dan Pasal 1239 KUHPerdata.


Penulis :
*Hasrul Buamona,SH.,M.H. (Advocates & Health Law Consultant pada HB and Partners Attorney At Law) / Eks Ketua I Bagian Internal Dewan Pimpinan Cabang Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta (DPC PERMAHI DIY) Periode 2011-2012.
*Rr. Noor’aini Dyah Rahmawati, SH. (Mahasiswa S2 Hukum Universitas Leiden Belanda dan Legal Consultant pada HB and Partners Attorney At Law)

SHARE :
CB Blogger

Posting Komentar

 
Copyright © 2008 fimny. All Rights Reserved. Powered by Blogger
Template by www.phylopop.com