Politik    Sosial    Budaya    Ekonomi    Wisata    Hiburan    Sepakbola    Kuliner    Film   
Home » , » Aborsi Dalam Perspektif Hukum Pidana (Criminal Crime)

Aborsi Dalam Perspektif Hukum Pidana (Criminal Crime)

Posted by fimny on Jumat, 19 Desember 2014

Hasrul Buamona,S.H.,M.H.
Upaya Menteri Kesehatan untuk mengesahkan Peraturan Menteri Kesehatan tentang Aborsi beberapa saat lalu mendapatkan sorotan utama baik dari kalangan pro dan kontra terkait Permenkes tersebut. Menteri Kesehatan sendiri memberi alasan hadirnya Permenkes tersebut bertujuan untuk melindungi kaum perempuan dalam hal ada indikasi darurat medis proses persalinan ataupun kehamilan yang diakibatkan pemerkosaan. Namun, dalam kesempatan berbeda Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait sempat menyatakan kekhawatirannya saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meneken PP Nomor 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi turunan dari Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pada 21 Juli 2014. Dia menilai peraturan yang memuat aborsi menjadi legal akan menjadi pembenaran bagi pasangan tidak bertanggung jawab untuk menggugurkan janin dengan alasan pemerkosaan, selain itu Arist mempertanyakan kesiapan pemerintah menjamin bahwa aturan tersebut justru tak melanggar hak hidup anak, seperti diatur dalam Pasal 1 UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. "Anak itu termasuk yang masih di dalam kandungan, dan negara wajib melindunginya" (Tempo.co Kamis 14 Agustus 2014).

Dari penjelasan diatas terlihat bahwa masih ada perbedaan pendapat antara Menteri Kesehatan yang lebih cenderung melindungi hak kaum perempuan, sedangkan Komisi Perlindungan Anak lebih mengarahkan pada perlindungan anak baik yang masih dalam kandungan ataupun telah dilahirkan. Menurut penulis rancangan Permenkes terkait aborsi dikemudian hari akan salah dimanfaatkan oleh para pasangan yang tidak bertanggung jawab, serta oknum-oknum yang diberi wewenang untuk menjalankan Permenkes, karena telah kita ketahui bersama tanpa Permenkes Aborsi tersebut dibuat, praktik aborsi di negara ini semakin marak terjadi, walaupun tindakan aborsi tersebut harus sesuai dengan kebutuhan medis yang telah ditentukan baik oleh dokter dan kementerian kesehatan.

Terlepas dari penjelasan diatas terkait dengan permasalahan aborsi baik dari pihak yang pro ataupun  kontra terkait rancangan Permenkes aborsi tersebut. Pada kesempatan ini penulis akan memaparkan aborsi dalam perspektif hukum pidana (criminal crime). Aborsi sendiri telah dikenal sejak lama, aborsi memiliki sejarah panjang dan telah dilakukan oleh berbagai metode baik itu natural atau herbal, penggunaan alat-alat tajam, trauma fisik dan metode tradisional lainnya (Achadiat Charisdiono: 2007). Istilah populer lainya adalah pengguguran kandungan. Walaupun dari sudut hukum pidana menggugurkan kandungan tidak sama persis artinya dengan praktik aborsi, karena dari sudut hukum pidana pada praktik aborsi terdapat 2 (dua) bentuk perbuatan. Pertama, perbuatan menggugurkan (afdrijven) kandungan. Kedua, perbuatan mematikan (dood’doen) kandungan (Ari Yunanto:2010).

Aborsi terbagi dalam 3 (tiga) bagian yakni aborsi yang terjadi secara alamiah, aborsi yang terjadi karena ada indikasi medis, dan aborsi yang terjadi karena tindakan medis yang tidak dibenarkan oleh hukum pidana. Di Indonesia pada saat sekarang ada 2 (dua) hukum positif yang mengatur aborsi yaitu UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dimana aborsi yang diakui yakni abortus provocatus medicalis sedangkan yang dilarang oleh hukum positif yakni abortus provocatus criminalis.

Dalam Pasal 75 UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan melarang setiap orang melakukan aborsi tersebut, namun ada pengecualian ketika aborsi tersebut dilakukan dengan adanya indikasi medis dimana dapat mengancam nyawa ibu ataupun janin, serta kehamilan akibat pemerkosaan yang dapat menggangu psikologis korban pemerkosaan. Sedangkan dalam Kitab Undang-Undang hukum Pidana (KUHP) Aborsi diatur dalam Pasal 346, dan 348 KUHP. Dimana dalam KUHP setiap motif tindakan aborsi dengan indikasi apapun dan dengan cara apapun adalah bentuk kejahatan, dikarenakan menghilangkan nyawa manusia (subjek hukum) sehingga harus dimintai pertanggungjawaban hukum pidana.

Hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 346 KUHP yang mengatur bahwa “Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun” dan Pasal 348 ayat (1) KUHP mengatur bahwa “Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”.

Dalam ketentuan Pasal 346 KUHP dokter dapat dimintai pertanggungjawaban hukum pidana ketika menjalankan perintah wanita (pasien) tersebut, namun bukan sebagai pelaku utama (dader) tindakan aborsi, akan tetapi yang menjadi pelaku utama adalah wanita (pasien) tersebut, dimana kedudukan dokter dalam Pasal 346 KUHP hanya sebagai pembuat pelaksana (pleger) sesuai Pasal 55 ayat (1) angka 1 KUHP yang mengatur “mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan,atau dengan memberi kesempatan,sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan”. Sedangkan perbedaan dengan Pasal 348 KUHP terletak pada inisiatif tindakan aborsi bukan berasal dari wanita (pasien) akan tetapi dari pembuat (dader), apabila pembuat adalah dokter, maka dokter kedudukannya sebagai pembuat tindak pidana (dader), selain itu informed consent yang dibuat oleh dokter telah melawan hukum positif, dikarenakan persetujuan dalam Pasal 348 KUHP motifnya untuk melakukan kejahatan.

Apabila tindakan aborsi ditinjau dalam hukum pidana sebagaimana Pasal 346 KUHP dan Pasal 348 KUHP maka aborsi tersebut dilakukan dengan sengaja (dolus), yang mana sengaja itu terlihat dengan telah diketahui akan adanya risiko matinya janin tersebut, namun proses aborsi tetap dilakukan. Kesengajaan (dolus) merupakan bagian dari kesalahan  (schuld ) dalam hukum pidana. Konteks sengaja yang dimaksud dalam hukum pidana ialah kehendak untuk melakukan atau tidak melakukan kejahatan yang dilarang oleh hukum pidana. Perlu diketahui bahwa dalam hukum pidana kesalahan terbagi menjadi 2 (dua) bagian yakni kesengajaan (dolus) dan kealpaan(culpa), dalam kedudukannya dalam hukum pidana kesengajaan (dolus) berada pada posisi terberat dalam ancaman hukumnya.

 Menurut penulis, dalam kasus aborsi hal yang perlu dibuktikan adalah sifat sengaja (dolus) melakukan aborsi tersebut. Hal ini diperlukan untuk mengetahui motifasi tindakan aborsi tersebut dilakukan, dan untuk menentukan kesalahan serta membuktikan tindakan aborsi tersebut. Apabila aturan mengenai tindakan aborsi dalam Pasal 346 KUHP dan Pasal 348 KUHP  dihubungkan maka hal yang menjadi kajian utama bukan hanya tindakan aborsi tersebut, namun yang terpenting  motifasi melakukan tindakan aborsi tersebut, dikarenakan berkaitan dengan ketentuan Pasal 75 ayat (2) UU No 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan yang mengatur “Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimana setiap orang dilarang melakukan aborsi, namun dapat dikecualikan berdasarkan : a). indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau b). kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan". Perlu diketahui bahwa kedudukan KUHP dengan UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan merupakan korelasi antara aturan hukum yang bersifat lex generalis (umum) dan lex spesialis (khusus). Dimana KUHP kedudukannya sebagai aturan yang bersifat umum dan UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan kedudukannya sebagai aturan yang bersifat khusus.

Menurut penulis, apabila tindakan aborsi tersebut dilakukan berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 75 UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan maka tindakan aborsi tersebut dikategorikan sebagai abortus provocatus medicalis sehingga wanita (pasien) dan dokter dalam kedudukannya tidak bisa dimintai pertanggungjawaban hukum pidana sebagaimana Pasal 346 KUHP dan Pasal 348 KUHP. Namun apabila dalam tindakan aborsi tersebut tidak ada indikasi medis untuk mengharuskan aborsi sebagaimana Pasal 75 UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Maka aborsi tersebut dapat diketegorikan sebagai abortus provocatus criminalis sehingga dapat dimintai pertanggungjawaban hukum pidana sebagaimana Pasal 346 KUHP dan 348 KUHP.


Penulis: Hasrul Buamona,S.H.,M.H.
Lawyer and Health Law Consultant / Eks Ketua I Bagian Internal Dewan Pimpinan Cabang Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta (DPC PERMAHI DIY) Periode 2011-2012.

SHARE :
CB Blogger

Posting Komentar

 
Copyright © 2008 fimny. All Rights Reserved. Powered by Blogger
Template by www.phylopop.com