Politik    Sosial    Budaya    Ekonomi    Wisata    Hiburan    Sepakbola    Kuliner    Film   
Home » » Abdullah Hehamahua: Konsistensi dalam Penerapan Hukum Islam

Abdullah Hehamahua: Konsistensi dalam Penerapan Hukum Islam

Posted by fimny on Selasa, 16 September 2014

Yogyakarta, FIMNY.org – Tulisan ini merupakan penggalan makalah yang telah disampaikan oleh Dr. Abdullah Hehamahua, S.H.,M.M. (Mantan Penasehat Spiritual Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia), dengan judul makalah “Membaca Nafas Islam dalam Konstitusi Negara di Indonesia”, makalah tersebut disampaikan dalam dialog hukum yang dilaksanakan Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) Masjid Salahuddin, UGM, Yogyakarta, pada 13 Juli 2014 bertempat di Wisma Keluarga Alumni Gadjah Mada (KAGAMA). Tulisan ini FIMNY.org dapatkan dari Panitia Penyelenggara usai acara berlangsung. Untuk selanjutnya kami sajikan dibawah ini.
 
Menurut Hasan Albana, ada tiga pilar yang harus diperhatikan agar penerapan hukum Islam dalam masyarakat berjalan konsisten, yaitu: Pemimpin yang bertanggung jawab; Pembinaan umat; dan Penghormatan hak-hak rakyat.

Pemimpin yang Bertanggung Jawab
Konsep Masyarakat Madani harus dioperasionalkan dalam kehidupan keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara. Secara internal, pelaksanaan Masyarakat Madani harus dimulai dan dirintis pemimpin dan tokoh-tokoh Islam. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW: Setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap pemimpin bertanggung jawab atas orang yang dipimpinnya.

Dalam konteks ini, bagi seorang pemuda, gadis yang dipilih menjadi isteri adalah wanita salehah. Sebagai orang tua, calon mantu yang dipilih adalah pemuda saleh atau perempuan yang salehah. Sebagai pimpinan ormas atau orpol, rekrut pengurus dan anggota yang saleh dan salehah. Sebagai Presiden, menteri yang diangkat adalah figur yang saleh dan salehah. Hal ini sesuai dengan doa Nabi Musa: Dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku, (yaitu) Harun saudaraku, teguhkanlah  dengan dia kekuatan, dan jadikanlah dia sekutu dalam urusanku (QS Thaha: 29).

Sementara itu, sebagai Kepala Negara, para menterinya harus individu yang memiliki kompetensi dan integritas yang tinggi. Berarti para menteri adalah orang yang cerdas dan jujur. Sebab, tanpa kejujuran, menteri yang cerdas akan membodohi bawahannya. Sebaliknya, menteri yang jujur tetapi bodoh, akan dibodohi bawahannya.

Penyatuan Umat Islam
Peribahasa Melayu berbunyi: “bersatu kita teguh, bercerai runtuh.” Peribahasa sejenis mengatakan, “ringan sama dijinjing, berat sama dipikul.”

Dua peribahasa di atas menunjukkan betapa pentingnya persatuan umat. Hal ini disimbolkan dalam keutamaan shalat berjamaah yang memeroleh 27 kali lipat pahala dari shalat sendirian. Demikian pula pentingnya shalat Jum’at sehingga dapat mengugurkan kewajiban shalat dzuhur. Bahkan, Rasulullah menyeru anak-anak dan perempaun yang sedang haid datang ke lapangan menghadiri shalat Idul Fitri/shalat Idul Adhah demi persatuan umat.

Dalam konteks inilah, Persatuan Indonesia menjadi sila ketiga Pancasila. Satu hal yang perlu dipahami pimpinan nasional, pejabat, dan tokoh Islam, Persatuan Indonesia, tidak hanya dalam bentuk NKRI, satu bendera, satu bahasa, dan satu mata uang. Justeru masalah yang utama adalah penyatuan hati umat Islam. Sebab, secara matematik, jika bersatu umat Islam yang mayoritas, bersatulah bangsa Indonesia. Untuk bersatu, tidak ada ideologi, konsep atau pemimpin sehebat apa pun yang mampu menyatukan hati umat kecuali Allah SWT sesuai firman-Nya: “Dan Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Q.S Al Anfaal: 63).

Agar Allah SWT turun tangan dalam menyatukan umat Islam yang sedang berantakan saat ini, pimpinan, tokoh, dan setiap individu menyadari, mereka adalah bersaudara seperti firman-Nya: Sesungguhnya umat yang beriman itu bersaudara (QS Al Hujurat: 10).
Berdasarkan ayat-ayat di atas, pejabat publik di peringkat mana pun jangan memarginalkan umat Islam, apalagi aqidah dan syariahnya. Sebab, sampai kiamat pun, tujuan kemerdekaan tidak akan tercapai tanpa pelaksanaan syariah Islam secara konsekwen. Tanpa kesadaran yang tinggi dari pimpinan, pejabat, dan tokoh Islam akan hal ini, umat Islam bisa menjadi kafir – sesuatu yang bertentangan dengan sila pertama Pancasila – seperti firman-Nya: Hai umat yang beriman, jika kamu mengikuti sebagian orang-orang yang diberi al-Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir, sesudah kamu beriman (QS Ali Imran: 100).

Agar tidak terperosok ke dalam golongan orang-orang kafir, pimpinan, tokoh, dan individu muslim/muslimah menerapkan apa yang difirmankan Allah SWT: “Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin bila mereka dipanggail kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka berkata: Kami mendengar dan kami patuh (An Nur: 51).

Hak Asasi Rakyat
Dalam konsep kapitalis – liberalisme, setiap orang bebas melakukan apa saja tanpa peduli kepentingan pihak lain. Misalnya, untuk menjadi konglomerat, seseorang melakukan apa saja, yang penting, dia memeroleh keuntungan sebesar-besarnya. Dia tidak peduli, apakah bisnisnya menggunakan riba, mencurangi timbangan, menjual barang rusak, menzalimi pembeli maupun menimbun barang.

Dalam konsep komunisme, negara tidak mengakui pemilikan pribadi karena semua milik negara. Kalau pun ada pemilikan pribadi, seseorang dibatasi jumlah optimal kekayaannya. Itu pun tanpa peduli, apakah cara memeroleh kekayaan tersebut, halal atau tidak. Di sinilah persamaan di antara konsep kapitalisme liberal dan sosialis komunisme.

Berbeda dengan kapitalsme - liberalisme dan sosialisme - komunisme, Islam mempunyai konsep yang konkrit tentang hak-hak manusia sesuai ayat-ayat berikut: Dan musyawarahkanlah dengan mereka tentang sesuatu masalah (QS. Al Imran: 159). Semua urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka (QS As-Syura: 38).

Dalam kenteks inilah, masalah musyawarah dijadikan sebagai sila keempat Pancasila: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijasanaan dalam permusyawaran perwakilan. Operasionalisasinya, dibentuk lembaga negara yang dikenal sebagai DPR dan MPR. Lembaga ini yang oleh Hasan Albana disebut sebagai ahlul halli wal aqdi, terdiri dari 3 komponen utama:

Komponen Pertama; Para fuqahah mujtahidin yang bertanggung jawab atas pernyataannya, baik dalam fatwa-fatwanya atau pengambilan putusan. Komponen Kedua; Para teknokrat yang terampil. Komponen Ketiga; Mereka yang menjadi pemimpin dalam masyarakat, baik sebagai pemimpin rumah tangga, pemimpin suku atau organisasi.

Secara operasional, hak asasi manusia yang utama yang memeroleh perlindungan Islam adalah kebebasannya dalam melaksanakan ibadah, hak berserikat serta kebebasannya dalam berpendapat.

Kebebasan Dalam Beribadah
Dalam Islam, warga negara memiliki hak dan kebebasan melaksanakan ritual agamanya, sepanjang tidak mengganggu kemurnian ajaran Islam. Hal ini ditunjukkan Rasulullah ketika menerima kunjungan para rabbi (pendeta) Yahudi yang berlangsung pada hari sabat.

Selain kebebasan melaksanakan ibadah ritual, Islam juga melindungi umatnya untuk melaksanakan ibadah muamalah yang diatur secara baik dalam hukum-hukum Islam. Baik hukum-hukum sebagaimana yang ditetapkan secara pasti di al-Qur’an maupun dalam Sunnah Rasulullah.

Kebebasan Berserikat
Dalam Islam, khususnya jaman Rasulullah dan Khulafah ar-Rasyidin, tidak ada parpol. Sebab, Rasulullah dan para khalifah langsung menerapkan al-Qur’an dan as-Sunnah dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Namun, Rasulullah memberi kesempatan berkembangnya ormas dalam pembinaan anggotanya. Hal ini bisa dilihat dengan adanya kaum muhajirin, anshar dan kabilah-kabilah yang lain. Eksisteni kelompok masyarakat ini diakui dan disalurkan potensi mereka dalam bentuk penunjukkan beberapa jabatan tertentu.

Dengan demikian, fungsi dan peran ormas ini, bukan dalam kaitan perebutan kekuasaan, tetapi dalam rangka memajukan pendidikan, budaya dan kesejahteraan anggotanya.

Kebebasan Berpendapat
Kelebihan dan sekaligus perbedaan dengan hewan adalah akal yang dimiliki manusia. Dengan akal, manusia memiliki kebebasan untuk berpikir dan mengemukakan pendapatnya.. Hal ini sesuai dengan wahyu Allah:
“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Rabb-nya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka. (Q. S Asy Syuura: 38 )”.

Tragedi Lubang Buaya dan krisis monoter tahun 1998 disebabkan, pendapat, saran dan kritikan masyarakat, dianggap pemerintah sebagai sikap permusuhan. Akhirnya kesalahan yang ada dalam tata kelola pemerintahan semakin menumpuk sehingga secara akumulasi seakan-akan merupakan air bah yang menjebol pintu air. Akibatnya, apa saja yang menghalangi lajunya air bah, akan hancur dan binasa. Oleh karena itu, Rasulullah mengingatkan, sahabat sejati adalah yang selalu mengingatkan atau menegur sahabatnya yang keliru.  Bahkan di lain hadits, baginda mengatakan, salah satu jihad yang besar adalah menyampaikan kebenaran di depan penguasa yang zalim.

SHARE :
CB Blogger

Posting Komentar

 
Copyright © 2008 fimny. All Rights Reserved. Powered by Blogger
Template by www.phylopop.com