Politik    Sosial    Budaya    Ekonomi    Wisata    Hiburan    Sepakbola    Kuliner    Film   
Home » » Dibalik Rona Kehidupan

Dibalik Rona Kehidupan

Posted by fimny on Sabtu, 16 Agustus 2014

FIMNY.org  – Ketika mentari menyingsing di ufuk barat, sepasang merpati terbang rendah mengitari perkampungan, kidung ayam memecahkan kesunyian. dicatatan ini, saya tulis kisah hidupku di masa kecil dulu, kisah hidup yang penuh dengan kepahitan kegetiran. Jauh dari kedua orangtua waktu itu saya masih Sekolah Dasar  (SD) kelas 3 dan adikku masih kelas 1 SD.
 
Di  rumah mungil beranyaman bambu, saya tinggal dengan adik laki-lakiku. Saya harus mengurus adikku sekaligus harus menjadi seorang ibu untuk adikku dikala senja datang, seketika kerinduanpun datang dikala melihat adikku duduk termenung di tangga rumah sambil menatap langit dikejauhan  seakan dalam hatinya memanggil-manggil nama ibu tetapi tidak berani dia ucapkan, hanya bisa meneteskan air matanya, saya dapat merasakan kerinduan yang dirasakan oleh adikku, melihat air mata adikku yang berlinang di pipi mulusnya. Air mataku ikut jatuh, tak mampu membendung air mataku karena menyaksikan adikku yang menangis, lalu saya berjalan menuju dapur karena saya tak ingin menangis di hadapan adikku, saya lanjutkan memasak. Saya mengaduk sayur daun kelor dengan air mata yang terus berderai. makanan telah kusajikan, saya menghapus air mataku dan memanggil adikku. Saya menyuruh dia makan seala kadarnya, saya memandang wajah adikku, dia menyantap nasi begitu lahap walaupun hanya saya persiapkan sayur daun kelor dan ikan teri. Saya menahan air mataku dan menggantikan dengan seutai senyuman kecut dibibirku. Tiba-tiba terlontar kalimat pertama dari mulutnya, dia bertanya kepadaku: “kakak, bune ai dula mama? ndendepu laona? yang terjemahan dalam bahasa indonesianya: “kakak, kapan mama pulang? masih lama mama perginya?

Mendengar pertanyaan itu kutersentak diam, saya mencoba menjawab: “hari minggu mama akan datang membawa uang untuk kamu dan membelikan baju baru untukmu”. Saya terpaksa berbohong agar dia tidak bersedih lagi, lalu dia hanya berkata: “oh iya..!!” Kemudian dia lanjutkan makannya seakan hatinya merasa senang dengan jawabanku. Selesai makan, adikku menuju tempat tidur dan ku masih membersihkan dapur. kemudian saya menuju ketempat tidur dan berbaring disamping adikku. Saya memaksakan mata untuk terpejam agar terhanyut dalam mimpi indah, namun sulit untuk saya pejamkan mata ini. Setelah beberapa menit, tiba-tiba saya mendengar suara tangis kecil disampingku, saya bangun untuk mematikan lampu lalu saya memeluk erat adikku dengan penuh rasa sayang, tangisannya semakin menjadi sambil memanggil-manggil nama ibu. Saat mendengar tangisannya yang semakin keras, saya juga ikut menangis sambil memeluk erat tubuh adikku. Malam menjadi bisu, menyaksikan tangis seduh kami berdua, dalam hati saya memanggil-manggil nama ibu, “mama, pulanglah!” hingga saya dan adikku tertidur lelap.

Jarum jam menujukkan angka 3 subuh, saya kembali terbangun untuk masak dan membereskan rumah, adikku masih tertidur lelap, saya tutupi tubuhnya dengan selimut kemudian bergegas menuju dapur, ingin masak, tapi minyak tanah habis, saya beranikan diri turun dari rumah untuk mencari ranting-ranting kayu, sepanjang gang saya berjalan mencari ranting kayu tanpa ada rasa merinding sedikitpun. Setelah saya kumpulkan ranting kayu, saya bawa pulang dan mulai masak, hanya suara ngaji ditiap-tiap Masjid yang menemaniku masak malam itu hingga suara adzan subuh berkumandang.

Selesai saya menyiapkan sarapan pagi untuk adikku, saya menimba air di sumur untuk paginya saya dan adikku mandi. Kemudian saya membangunkan adikku makan an menyuruhnya sarapan. saya memandikannya dan memakaikan pakain seragamnya. Saya harus mendahulukan adekku, baru kemudian mengurus diriku, kemudian saya dan adikku berangkat kesekolah sama-sama. Ketika sampai di sekolah, saya relakan untuk tidak jajan, walau kami sama-sama membawa uang jajan tapi saya simpan untuk adikku, karena jika uang jajannya habis, saya tidak tega melihat dia seperti anak jalanan yang hanya melihat temannya makan. Jika bel pulang berbunyi, dia selalu menungguku dan pulang sama-sama. Ketika sampai rumah, lagi-lagi saya harus suguhkan dia dengan menu makanan yang seperti biasa, tapi tidak lupa siangnya saya memberikannya uang jajan, karena saya ingin dia bisa jajan juga seperti teman-temannya yang tinggal bersama orangtua mereka walaupun saya hanya memberinya 100 perak saja. Jika uang simpananku mau habis, dia tidak jajan karena paling ada ibuku pulang hanya 1 kali dalam 2 bulan. Saya lalui hari-hari yang seperti itu selama 4 tahun lebih. Jika saya uraikan semua, tidak akan cukup dengan waktu yang singkat, singkat crita, saya akhiri kisah hidupku yang seperti itu pada waktu saya duduk di bangku kelas 6. Saya tutup semua lembaran-lembaran hidupku bersama adikku dan mulai membuka lembaran-lembaran hidup yang baru. Kini, . saya telah beranjak dewasa, mencari jati diri yang sesungguhnya, mencari cinta yang sejati dan meraih impian untuk masa depan yang cerah.


Kabupaten Bima, 28 Februari 2012
Karya: Yuni Wahyuningsih

SHARE :
CB Blogger

Posting Komentar

 
Copyright © 2008 fimny. All Rights Reserved. Powered by Blogger
Template by www.phylopop.com