Politik    Sosial    Budaya    Ekonomi    Wisata    Hiburan    Sepakbola    Kuliner    Film   
Home » » Ketua MK Hadiri Dialog Membaca Nafas Islam di Konstitusi Indonesia

Ketua MK Hadiri Dialog Membaca Nafas Islam di Konstitusi Indonesia

Posted by fimny on Senin, 14 Juli 2014

Yogyakarta, FIMNY.org – Jamaah Salahudin Universitas Gadjah Mada menggelar Dialog Hukum Indonesia pada Tanggal 13 Juli 2014 yang berlangsung di ruang aula lantai dasar Keluarga Alumni Gadjahmada (KAGAMA) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.

Dalam rangka untuk menelusuri kontribusi Hukum Islam di Indonesia, Jamaah Salahudin Universitas Gadjah Mada menggelar Dialog Hukum Indonesia dengan mengangkat tema “Membaca Nafas Islam di Konstitusi Indonesia”, dengan menghadirkan para pemateri yang kompeten di bidangnya, diantaranya; Pemateri Pertama Bapak Dr. Hamdan Zoelva, S.H., M.H. beliau merupakan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pemateri Kedua, Bapak Abdullah Hehamahua, S.H., M.M., beliau merupakan Penasehat Komisi Pembarantasan Korupsi (KPK) Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemateri Ketiga, Bapak Prof. Sudjito, S.H., M.Si., beliau merupakan Guru Besar Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dan Kepala Pusat Studi Pancasila Universitas Gadjah Mada.

Para peserta yang hadir dalam acara tersebut terdiri dari kurang lebih 70 orang, yang mana berasal dari para mahasiswa yang berada di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Acara tersebut berlangsung dengan meriah, dimana terjadi interaksi yang aktif dari para peserta dan para pemateri.

Dalam kesempatan itu, Bapak Prof. Sudjito, S.H., M.Si., selaku Guru Besar Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dan Kepala Pusat Studi Pancasila Universitas Gadjah Mada membawakan Makalah tentang “Relasi Islam, Pancasila, dan UUDNRI 1945”, di kesempatan itu, Sudjito memaparkan bahwasannya Islam adalah agama. Berasal dari sang khalik, diwahyukan, diturunkan, dan diteladankan pemahaman pemahaman dan pengamalannya kepada manusia sebagai hamba-hambaNya melalui Rasul, yakni Malaikat dan nabi, agar hamba-hambaNya dapat mengemban tugas-tugas penciptaanNya, baik sebagai abdillah, maupun khalifatullah dengan benar, mudah dan ringan, sehingga senantiasa berada di jalan lurus, penuh kemuliaan. Lebih lanjut Sudjito menjelaskan Pancasila adalah sistem nilai yang dijadikan tolak ukur manusia indonesia dalam berpikir, bersikap dan berperilaku baik ketika berada dalam kesendirian sebagai pribadi (individu), bersikap dan berperilaku, maupun dalam bermasyarakat sebagai makhluk sosial, baik sebagai pribadi sebagai warga negara, lebih-lebih sebagai penyelenggara negara. Diharapkan pada realitas kehidupan yang majemuk, plural, berbhinneka, baik agama, suku, ras, etnis, sosial, budaya, ekonomi, politik, dan sebagainya, pancasila berposisi dan berfungsi sebagai “jembatan” yang mempertemukan sebagai macam perbedaan itu, tanpa mengganggu kedaulatan teologis masing-masing. Perbedaan dipandang sebagai rahmat, dan selanjutnya diikuti dengan dialog untuk saling mengisi, memberi dan melengkapi sehingga kehidupan bersama berjalan lapang, harmonis, indah, dan semakin maju.

Lebih lanjut Sudjito dalam kalimat penutupnya mengatakan “silau terhadap gemerlapnya kekuasaan, rakus terhadap harta benda materiil, dan praktik politik transaksional, liberalistik-sekuler, diduga menjadi penyebab utama munculnya persoalan-persoalan bangsa, sehingga ‘nafas’ Islam dalam UUDNRI 1945, sesak, terengah-engah”.

Dr. Hamdan Zoelva, S.H., M.H. memaparkan Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia mempunyai titik singgung yang kuat dengan pola hidup bangsa Indonesia. Disebut demikian, karena Islam yang didalamnya mengandung hukum yang bersumber pada syariat, secara sosiologis dan kultural telah berurat akar pada budaya masyarakat indonesia. Dalam hal ini, hukum Islam tidak dipandang sebagai entitas agama semata-mata, tetapi dalam dimensi amaliahnya hukum islam telah menjadi bagian tradisi masyarakat yang dinilai sakral, sehingga secara empiris hukum islam isebut sebagai hukum yang hidup (the living law). Karenanya, membicarakan hukum islam menjadi hal yang sangat penting, terlebih jika dikaitkan dengan kedudukannya sebagai salah satu dari tiga pilar sub sistem (sistem hukum barat, hukum adat, dan hukum islam) yang selama ini turut mewarnai dan mempengaruhi pembentukan hukum nasional.

Lebih lanjut Ketua Mahkamah Konstitusi mengatakan, terlepas dari kontroversi bagaimana penerapan hukum islam, dari sudut pandang ketatanegaraan, dikaitkan dengan adanya upaya ke arah unifikasi hukum, nampaknya masih akan mengalami kendala di masa yang akan datang. Unifikasi tidak mengabaikan kemungkinan pluralitas hukum. Oleh karena itu, dalam bidang-bidang yang terhadapnya tidak mungkin dilakukan unifikasi, maka pembangunan hukum nasional sedapat mungkin mengupayakan terciptanya keharmonisan hukum. Dalam artian, keadaan hukum dengan unsur-unsur lama (yang berbeda) dibiarkan utuh dan tidak berubah, namun terjadi paduan baru hasil komposisi yang merupakan suatu kesatuan dalam kerangka sisitem hukum Indonesia.

 Ketua MK saat Penyerahan tropi usai Acara
 Foto Bersama Usai Acara

SHARE :
CB Blogger

Posting Komentar

 
Copyright © 2008 fimny. All Rights Reserved. Powered by Blogger
Template by www.phylopop.com