Politik    Sosial    Budaya    Ekonomi    Wisata    Hiburan    Sepakbola    Kuliner    Film   
Home » , » DPC PERMAHI DIY Angkat Suara Terkait Polemik Peninjauan Kembali

DPC PERMAHI DIY Angkat Suara Terkait Polemik Peninjauan Kembali

Posted by fimny on Kamis, 15 Januari 2015

Yogyakarta, FIMNY.org – Dewan Pimpinan Cabang Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta (DPC PERMAHI DIY) menyelenggarakan diskusi rutin bulanan dengan tema “MK: Peninjauan Kembali Berkali-kali, MA: Peninjauan Hanya Sekali”, pada Selasa, 06 Januari 2015 di depan Multi Purpose (MP) Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Pada kesempatan itu, Ketua Dewan Pimpinan Cabang Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta (DPC PERMAHI DIY), Dedi Purwanto mengungkapkan panjang lebar terkait polemik yang terjadi terkait penijauan kembali (PK). Disatu sisi Mahkamah  Konstitusi (MK) menetapkan penijauan kembali bisa dilakukan berkali-kali, tapi disisi yang lain Mahamah Agung juga mempunyai pandangan berbeda, yakni penijauan kembali hanya bisa dilakukan satu kali.

“Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 memiliki impilkasi pada penijauan kembali (PK) yang diajukan secara berkali-kali berlawanan dengan SEMA Nomor 7 Tahun 2014 yang menyatakan bahwa PK hanya diperbolehkan sekali kesempatan. Kedua persoalan ini tidak dapat untuk dihakimi sendiri untuk dilihat dari segi penting atau tidaknya. Keputusan tersebut memiliki landasan konstitusional masing-masing. Semua keputusan yang dimaksudkan tersebut telah memiliki dasar kepastian hukum dalam berperkara. Kemungkinan saja untuk kali ini bisa disimpulkan sementara terkait MK mengambil keputusan tersebut diantaranya karena berdasarkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia serta kepastian hukum.  Disisi lain, PK bisa diajukan dengan syarat-syarat tertentu diantaranya adalah dengan adanya bukti baru yang dapat dilakukan dengan teknologi yang kini ada, dan PK dapat dilakukan berkali-kali hanya berlaku pada persoalan Pidana saja, sedangkan terkait Perdata, Militer, Agama tidak diperbolehkan untuk PK tersebut. Ditinjau dari segi tata urutan perundang-undangan, MA dianggap oleh MK sudah inskonstitusional dalam mengambil keputusan dan bahkan menimbulkan kerancuan hukum. Hal demikian menjadi sesuatu hal yang wajar, karena yang terpenting sekarang adalah menafsirkan hal ini dari segi sosiologis dan filosofisnya. Dengan demikian, kita dapat mengkaji arah kedua putusan tersebut, karena kedua putusan ini membawa dampak yang sangat krusial. Kewenangan yang diberikan oleh konstitusi merupakan keputusan yang benar, mampu mewakili kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan, bukan lagi berbicara pihak-pihak yang berwenang menurut undang-undang.  SEMA yang dikeluarkan inkonstitusional karena bertentangan dengan putusan MK yang MK sendiri merupakan lembaga tertinggi, mempunyai landasan pertanggungjawaban secara sosiologis, yuridis, dan filosofis. Maka, setelah terjadi persoalan ini, kita diajak untuk mengutamakan proses berpikir sebelum mengambil suatu langkah berdasarkan kewenangan. Pada dasarnya, kebenaran ibaratkan pada kenyataan yang  membuktikan bahwa kebenaran tidak hanya didapatkan oleh seorang ulama yang alim, melainkan ada kemungkinan kebenaran tersebut terdapat didapat dari pemuda biasa. Hal ini berarti bahwa bukan persoalan legalitas kewenangan disini yang menjadi pedoman, tetapi mengarah kepada substansi yang memiiki muara pada kedua putusan tersebut”, ungkap Ketua Umum DPC PERMAHI DIY, Dedi Purwanto.

Diskusi berlangsung hangat, karena semua peserta diskusi memaparan argumennya masing-masing. “PK yang dikeluarkan oleh MA dan MK harus dilihat dari kedudukan dan wewenang masing-masing lembaga. Masing-masing lembaga tersebut merupakan lembaga tertinggi yang memiliki hak menafsirkan undang-undang adalah MK dan tidak boleh ada tafsir lain selain itu. Berkaitan dengan kemudian munculnya Surat Edaran MA (SEMA), SEMA tersebut merupakan penafsiran atas Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terhadap Pasal 268, merupakan inskonstitusional, karena MA dan MK merupakan lembaga yudikatif dalam Trias Politica dan merupakan lembaga yang masuk dalam kekuasaan kehakiman sesuai amanat konstitusi. Putusan MK mengenai PK yang diperbolehkan untuk dilakukan secara berulang-ulang merupakan suatu proses yang mencoba untuk mengakomodir nilai keadilan dalam masyarakat, karena PK masih tetap dapat dilakukan sepanjang masih ada novum yang dapat dibuktikan oleh iptek yang baru ditemukan pada masa saat itu. Hal ini membawa kelemahan terhadap kepastian hukum. Berhubungan dengan hal ini, adanya pertentangan penafsiran antara tafsir MK dan SEMA yang terletak pada dua aliran hukum yaitu, MK lebih mengarah pada menempatkan segi sosiologi karena menempatkan keadilan masyarakat. Putusan MK ini memiliki kepastian hukum karena PK bukanlah semua putusan melainkan putusan yang memenuhi kriteria dan melihat bahwa hukum untuk masyarakat bukan untuk sebaliknya. Sudut pandang MA adalah positivistic dengan menitik beratkan pada aspek kepastian hukum, hukum tersebut harus murni dari anasir-anasir lain diluar hukum itu sendiri. Mengatasi hal ini, harus diperhatikan adanya PK bukan terletak pada berapa kali jumlah yang diperbolehkan, tetapi sturktur penegakkan hukum. Sehingga, nantinya tidak lagi adanya kemungkinan untuk muncul novum baru ketika proses persidangan berlangsung atau setelah adanya putusan pengadilan”, ungkap M. Adi Nugroho.

“MA memutuskan PK hanya sekali kesempatan, namun MK memutuskan PK dapat dilakukan berkali-kali, terjadi karena didasarkan pada unsure kehati-hatian dalam memutus. PK terjadi berkali-kali bukanlah jawaban untuk memberikan kesempatan kepada terpidana untuk menghilangkan bukti lain. Terkait hal ini, baik PK hanya sekali kesempatan ataupun berkali-kali  bukan menjadi pedoman adanya kepastian hukum. MK mengijinkan diperbolehkannya adanya PK berkali-kali adalah berdasarkan Putusan MK No. 34/PUU-XI/013 yang mengabulkan permohonan kasus Antasari Ashar untuk membatalkan Pasal 268 ayat (3)”, jelas Ratri.

“Meskipun hanya berbentuk diskusi kecil setiap bulannya, DPC PERMAHI DIY mengharapkan adanya tindakan kecil yang berarti dari kalangan mahasiswa Hukum se Yogyakarta. Karena dengan diskusi inilah rekan-rekan DPC PERMAHI DIY nantinya setelah menjadi seorang SH, mampu membawa perubahan yang berarti, tidak hanya dalam berbicara, melainkan berani beraksi melihat realita yang harus diperjuangkan. Bukan lagi memperjuangan hukum yang ibaratkan sebuah pisau, melainkan memperjuangkan kebenaran bahwa Indonesia layak diakui sebagai negara hukum. Salam PERMAHI, siapa kita? Indonesia!”, harap Maria Asumpta Anindita Suryaningrum. [MJ]

Suasana saat diskusi berlangsung. (Foto: Anind)

SHARE :
CB Blogger

Posting Komentar

 
Copyright © 2008 fimny. All Rights Reserved. Powered by Blogger
Template by www.phylopop.com