Politik    Sosial    Budaya    Ekonomi    Wisata    Hiburan    Sepakbola    Kuliner    Film   
Home » , » Hari Guru, Makna Positif Dibalik Pepatah “Guru Kencing Berdiri, Murid Kencing Berlari”, Yukk di Simak..!

Hari Guru, Makna Positif Dibalik Pepatah “Guru Kencing Berdiri, Murid Kencing Berlari”, Yukk di Simak..!

Posted by fimny on Selasa, 25 November 2014

Foto: melvister.com
Kutai Kartanegara, FIMNY.org – Pada hari Selasa tanggal 25 November 2014 guru di seluruh Nusantara memperinyati Hari Guru Nasional. Para guru di Kutai Kartanegara Kalimantan Timur juga memperingatinya (Perinyati Hari Guru Nasional, red).

Peringati hari guru, salahsatu guru Sekolah Dasar Muhammadiyah Tenggarong Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, mengungkapkan bahwasannya guru-guru harus terus berinofatif, cerdas dan kreatif. “Teruslah berinofatif, intinya guru itu harus cerdas dan kreatif serta peka dengan perkembanan jaman, guru yang ideal adalah guru yang terus belajar dan mengajar, menjadi guru bukan hal yang gampang namun tidak berarti sulit. Penting untuk memiliki amunisi yang memadai. Ketika guru diharapkan untuk menjadi inspirator maka dengan sendirinya mengharuskan guru untuk memiliki kecerdasan dan kreatifitas dalam makna yang umum”, ungkap salahsatu guru sekolah dasar (SD) Muhammadiyah Tenggarong Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, saudari Hamisyah, S.Pd. melalui siaran persnya yang diterima FIMNY.org pada hari Selasa 25 November 2014 siang hari.

Lebih lanjut perempuan lulusan sarjana Teknologi Pendidikan ini menggamparkan ulang pepatah yang berbunyi ‘guru kencing berdiri, murid kencing berlari’. “Guru yang cerdas dan kreatif (seperti yang telah disebutkan diatas, red) akan melahirkan pula output murid-murid yang cerdas dan kreatif pula. Bukankah ada pepatah mengatakan “guru kencing berdiri, murid kencing berlari”?. Jika logikanya kita balik dengan sesuatu yang bermakna positif, maka “Guru yang mengajar dengan cerdas dan kreatif, murid akan mendapatkan quantum kecerdasan dan kreatif yang berlipat pula”, cetus Hamisya.    

Guru berdarah kelahiran desa Ncera, kecamatan Belo, Kabupaten Bima, provinsi Nusa Tenggara Barat ini lebih jauh mengatakan, keberadaan guru sejauh ini bukan perihal mudah, dalam perjalanannya pasti juga ditemui kendala-kendala yang melingkupinya, walau kendala itu tidak begitu mencolok. “Kendala dalam diri pendidik sendiri tidak begitu berarti, hanya saja tanggung jawab pendidikan yang besar ini kemudian dilimpahkan kepada guru semata itu sangat fatal, karena trilogi pendidikan yang digaungkan tidak berjalan dalam satu rel yang selaras”, keluh Hamisya. 

Lebih jauh perempuan kelahiran 1989 ini mengatakan prihatin dengan permasalahan kondisi moral para siswa-siswi dewasa ini. “Menjadi permasalahan besar peserta didik saat ini adalah dekadensi moral yang semakin hari semakin memprihatikan, karena tidak didukung dengan pendidikan yang baik dilingkungan keluarga dan masyarakat, maka para peserta didik ini akhirnya memiliki kepribadian ganda yang sangat destruktif. Pertanyaannya adalah dari mana peradaban itu bermula?”, beber Hamisya.

Pada kalimat penutupnya, guru salah satu sekolah piloting di Kalimantan ini menanyakan tentang perihal apabila murid gagal, siapa yang harus dipersalahkan, “ketika melihat kegagalan murid dalam hal ini, lantas gurukah yang dinilai tidak mampu? Saya berani mengatakan tidak”, cetus Hamisya dalam kalimat penutupnya.

Itulah yang akan menjadi pekerjaan rumah kita semua dalam upaya melahirkan anak bangsa yang mampu bersaing di kancah global. Pekerjaan rumah itu bukan semata-mata seorang guru yang harus bertanggungjawab, tetapi semua kalangan (masyarakat, pemerintah, serta pemangku kepentingan lainnya) harus bahu membahu dalam mewujudkan cita-cita besar yang mulia itu. [MJ]

SHARE :
CB Blogger

Posting Komentar

 
Copyright © 2008 fimny. All Rights Reserved. Powered by Blogger
Template by www.phylopop.com