Politik    Sosial    Budaya    Ekonomi    Wisata    Hiburan    Sepakbola    Kuliner    Film   
Home » » Relasi Islam, Pancasila, dan UUD NKRI 1945

Relasi Islam, Pancasila, dan UUD NKRI 1945

Posted by fimny on Selasa, 16 September 2014

Yogyakarta, FIMNY.org – Tulisan ini merupakan makalah yang telah disampaikan oleh Prof. Dr. Sudjito, SH., M.Si. (Guru Besar Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dan Kepala Pusat Studi Pancasila Universitas Gadjah Mada), makalah tersebut disampaikan dalam dialog hukum yang dilaksanakan Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) Masjid Salahuddin, UGM, Yogyakarta, pada 13 Juli 2014 bertempat di Wisma Keluarga Alumni Gadjah Mada (KAGAMA), dengan tema yang Panitia usung “Membaca Nafas Islam dalam Konstitusi Indonesia”. Tulisan ini FIMNY.org dapatkan dari Panitia Penyelenggara usai acara berlangsung. Untuk selanjutnya kami sajikan dibawah ini.

Islam adalah agama. Berasal dari Sang Khalik, diwahyukan, dituntunkan, dan diteladankan pemahaman dan pengamalannya kepada manusia sebagai hamba-hambaNya melalui Rasul, yakni malaikat dan Nabi, agar hamba-hambaNya dapat mengemban tugas-tugas penciptaanNya, baik sebagai abdillah maupun kalifatullah dengan benar, mudah dan ringan, sehingga senantiasa berada di jalan lurus, penuh kemuliaan.

Islam sebagai sistem keimanan, memiliki jangkauan universal, yakni rahmatan lil ’alamin. Sumber ajarannya dimuat dalam Al-Qur’an, dan operasionalisasi ajarannya bersifat kontekstual, dicontohkan dalam Hadist. Itulah sebabnya, Islam mampu menjaga stabilitas kehidupan, dan sekaligus mampu bergerak secara dinamis, memenuhi berbagai kebutuhan dan perkembangan zaman, tanpa terhalang oleh tempat, ruang dan waktu.

Pancasila adalah sistem nilai yang dijadikan tolok ukur manusia Indonesia dalam berpikir, bersikap dan berperilaku, baik ketika berada dalam kesendirian sebagai pribadi (individu), maupun dalam bermasyarakat sebagai makhluk sosial, baik sebagai pribadi selaku warga Negara, lebih-lebih selaku penyelenggara Negara. Dihadapkan pada realitas kehidupan yang majemuk, plural, berbhinneka, baik agama, suku, ras, etnik, sosial, budaya, ekonomi, politik, dan sebagainya, Pancasila berposisi dan berfungsi sebagai “jembatan” yang mempertemukan segala macam perbedaan itu, tanpa mengganggu kedaulatan teologis masing-masing. Perbedaan dipandang sebagai rahmat, dan selanjutnya diikuti dengan dialog untuk saling mengisi, memberi dan melengkapi sehingga kehidupan bersama berjalan lapang, harmonis, indah dan semakin maju.

Pancasila, dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat dan bernegara, berposisi dan berfungsi sebagai : (1) way of life, (2) philosophische grondslag, (3) ideologi bangsa, dan (4) paradigma ilmu. Pada keseluruhannya, Pancasila wajib dipahami, dihayati dan diamalkan oleh warga Negara dan penyelenggara Negara secara simultan, baik secara obyektif maupun subyektif.

Pada dimensi ideologis, sejak bangsa ini sepakat dengan Pancasila sebagai Philosophische Grondslag, mestinya (das Sollen) jati diri Negara Indonesia adalah Negara Pancasila (Bung Karno, 1959). Sebagai konsistensi dari komitmen itu, maka sistem hukum nasional Indonesia mestinya dibangun lebih dulu berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Lebih lanjut sistem penyelenggaraan negara harus didasarkan kepada sistem hukum nasional berdasarkan Pancasila itu. Dengan mandasarkan diri pada teori organ, Pancasila itu jiwa dari sistem hukum nasional Indonesia. Raganya adalah UUD dan berbagai undang-undang organik turunannya. Kemantapan penghayatan dan pengamalan Pancasila dalam bernegara, akan menjamin stabilitas kehidupan bernegara; sementara itu kelenturan, keluwesan, adaptasi UUD, akan mampu mewujudkan dinamika tinggi dalam menghadapi berbagai kebutuhan dan perkembangan zaman.

Pada dimensi filsafati, alinea III Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi ”Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa, dan dengan didorongkan oleh keinginan yang luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”, merupakan alasan ghaib (Notonagoro, 1971), teologis-religius, suprarasional dan transendental sehingga Pembukaan UUD 1945 yang dijiwai Pancasila bersifat tetap (tidak dapat diubah), karena kemerdekaan merupakan karunia Tuhan, dan oleh karenanya, manusia atau badan/lembaga mana pun tidak kuasa menolak atau mengubahnya. Secara obyektif terdapat hubungan erat, tak terpisahkan antara: Allah Yang Maha Kuasa dengan manusia Indonesia, Pancasila, Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, Pembukaan UUD 1945, dan Batang Tubuh (Pasal-pasal) UUD dan Penjelasannya.

Pembukaan UUD 1945 sebagai penuangan jiwa Proklamasi dan jiwa Pancasila, di dalamnya terkandung 4 (empat) pokok pikiran, yaitu (Darmodihardjo, 1981):
Pokok Pertama; Negara persatuan, ialah negara yang melindungi segenap bangsa Indonesia, dan seluruh tumpah darah Indonesia, mengatasi segala faham golongan dan perorangan, mengatasi segala agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Ini merupakan perwujudan dari sila 3 Pancasila, ”Persatuan Indonesia;

Pokok Kedua; Negara bertujuan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat dalam bingkai negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Dalam hal ini negara berkewajiban memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Ini merupakan perwujudan dari sila 5 Pancasila, ”Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”;

Pokok Ketiga; Negara berkedaulatan rakyat berdasarkan atas kerakyatan dan permusyawaratan/perwakilan. Negara, wajib menjalankan demokrasi di segala bidang kehidupan (politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan sebagainya) berdasarkan sila 4 Pancasila, yang berbunyi: ”Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”;

Pokok Keempat; Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusia yang adil dan beradab. Indonesia bukan negara atheis, dan juga bukan negara teokrasi. Negara menjunjung tinggi dan menghormati serta melindungi semua agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Ini merupakan perwujudan dari sila 1 Pancasila, yang berbunyi: ”Ketuhanan Yang Maha Esa” dan sila ke 2 yang berbunyi: ”Kemanusiaan yang adil dan beradab”;

Dari nilai-nilai ideologis Pancasila, founding fathers telah merumuskan maksud mendirikan negara, cita-cita bernegara (termaktub di dalam Pembukaan UUD 1945), dan lebih lanjut merumuskan pula: asas-asas kehidupan bernegara, bentuk negara, susunan pemerintahan, kewarganegaraan, hubungan negara dengan warga negara dan tanah airnya serta negara lain, dan sebagainya (termaktub di dalam Batang Tubuh UUD 1945). Dengan demikian, substansi maupun kelembagaan yang ada di dalam Batang Tubuh UUD 1945, hakikatnya merupakan hukum dasar tertulis, sebagai sarana untuk mencapai cita-cita bernegara. Oleh karenanya wajib diinsyafi, bahwa UUD bukan sekedar kumpulan pasal-pasal sebagai kristalisasi dan kompromi kepentingan, melainkan pemandu menuju kehidupan bahagia yang didambakan bersama yakni tercapainya cita-cita bernegara. Hal-hal yang belum mampu dirumuskan ke dalam hukum dasar tertulis, diatur di dalam hukum dasar tak tertulis (konvensi). Seterusnya, dari hukum dasar tertulis dijabarkan ke dalam undang-undang organik turunannya, agar dari hukum dasar itu terwujud hukum positif yang bersifat operasional. Bagi warga negara maupun para penyelenggara negara, UUD beserta undang-undang organik turunannya, secara fungsional bermanfaat sebagai pemberi arah, penerang, dan alat kontrol dari setiap kebijakan, agar dijamin tidak ada kebijakan yang merugikan warga negara, mendegradasikan kedaulatan, atau menyimpang dari arah, tujuan dan cita-cita bernegara.

Berhubungan urgensi dan strategisnya UUD, maka aktivitas penyempurnaan UUD 1945 ke arah terwujudnya UUD yang berdasar Pancasila, mestinya merupakan aktivitas moral-religius, intelektual, dilakukan oleh orang-orang terpilih, cerdas, berbudi luhur, mempunyai wawasan kebangsaan. Penyempurnaan UUD 1945 tidak dapat dibenarkan bila hanya dilakukan sebatas aktivitas politik, melainkan wajib dilakukan sebagai aktivitas akademik yang merengkuh berbagai kepentingan, dan menggarapnya dari berbagai sudut pandang secara holistik, sehingga dijamin ada kesinambungan antara esensi dan eksistensi UUD di masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang, demi kebahagiaan kehidupan dunia-akhirat.

Sungguh sayang, ketika politisi Islam, sebagai pengemban amanah untuk penyempurnaan UUD 1945, sibuk dengan kepentingan politiknya, dan justru lalai, lengah, tidak istiqomah dengan ajaran Islam. Silau terhadap gemerlapnya kekuasaan, rakus terhadap harta-benda materiil, dan praktik politik transaksional, liberalistik-sekuler, diduga menjadi penyebab utama munculnya persoalan-persoalan bangsa, sehingga “nafas” Islam dalam UUDNRI 1945, sesak, terengah-engah. Wallhu’alam.

SHARE :
CB Blogger

Posting Komentar

 
Copyright © 2008 fimny. All Rights Reserved. Powered by Blogger
Template by www.phylopop.com